Oleh: Kholili Hasib
DALAM Islam, waktu itu adalah amal sholih. Waktu itu bukanlah uang seperti kata sebuah adagium, time is money. Di
sini, amal sholih menjadi tujuan utama, bukan materi. Bukan berarti
Islam anti-uang. Akan tetapi yang lebih tepat kita katakan, uang/materi
menjadi sarana untuk beramal sholih, bukan tujuan utama (big goal). Jika uang menjadi big goal, maka materialisme menjadi pemahaman kita. Adagium “time is money”, adalah prinsip kaum materialism.
Orang yang tidak memanfaatkan waktu-waktu luangnya, oleh al-Qur’an disebut sebagai orang yang merugi.
أَن تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتَى علَى مَا فَرَّطتُ فِي جَنبِ اللَّهِ وَإِن كُنتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ ﴿٥٦
“Supaya jangan ada orang yang mengatakan, ‘amat besar
penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap
Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang
memperolok-olokkan (agama Allah).” (QS. Al-Zumar: 56).
Orang
merugi adalah orang yang tidak memanfaatkan aktifitasnya untuk
kehidupan abadi, yaitu hidup setelah mati. Betapa kita terlalu lalai
memanfaatkan aktifitas mulya ini.
Berapa lama kita membaca
al-Qur’an atau membaca buku-buku. Bandingkan dengan lamanya kita duduk
di warung kopi dan trotoar jalan, sekedar ngobrol, ngerumpi dan
menghabiskan waktu luang. Berapa jam kita menonton TV dan tidur.
Bandingkan dengan lamanya kita beribadah. Berapa lama pula kita meeting bisnis,
bandingkan dengan berapa lama kita duduk di majelis ilmu dan
majelis-majelis mengingat Allah. Sungguh banyak waktu yang terlewat
sia-sia.
Penyesalan dalam ayat tersebut karena lalai menunaikan
kewajiban Allah dan memandang rendah agama Allah. Dua hal tersebut
disebabkan waktu yang tidak dimanfaatkan dengan baik atau waktu luang
digunakan untuk hal yang tidak baik.
Lebih berbahaya lagi jika
waktu disia-siakan untuk mengerjakan perbuatan yang dimurkai-Nya. Jadi,
dalam managemen waktu, ada dua pilihan; menyibukkan dengan kebenaran dan
menyibukkan dengan perkara yang dimurkai. Waktu kosong yang digunakan
untuk hal-hal yang tidak berguna, pada akhirnya akan mengantarkan kepada
kegiatan-kegiatan yang dimurkai.
Imam al-Syafi’i pernah mengatakan: “Jika Anda tidak menyibukkan diri anda dengan kebenaran, maka ia (waktu) akan menyibukkan Anda dengan kebatilan.”Oleh
sebab itu, dalam pengisian waktu sesungguhnya terjadi pertempuran
sengit antara setan dan hati kita. Hal yang paling penting untuk menjaga
kehidupan kita adalah menyusun rencana-rencana dan program yang akan
mengisi waktu. Dan tidak memberi sedikitpun celah kepada setan untuk
ikut beraktifitas dalam sela-sela waktu kita.
Jika kebenaran yang menguasai celah-celah dalam waktu kita, maka ia
akan membangkitkan potensi yang terpendam dalam diri manusia. Sebaliknya
jika kebatilan jadi penguasa waktu, maka tunggulah kerusakannya.
Bagaimana belajar memangemen waktu? Bagi awam dan pelajar pemula,
para ulama’ memberi petunjuk sederhana, yaitu mendisplinkan shalat tepat
pada waktunya. Sesungguhnya amal ibadah yang efektif dalam mendidik
disiplin waktu itu shalat jama’ah tepat pada waktunya.
فَإِذَا
قَضَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَاذْكُرُواْ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى
جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ إِنَّ
الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً
Allah berfirman: ”Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalatmu,
ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.
Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu.
Sesungguhnya shalat itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Nisa’: 103).
Disiplin
shalat lima waktu bisa menjadi media pembelajaran memanfaatkan waktu
sebaik-baiknya. Kita bisa mendidik diri atau anak dan murid kita dengan
ini. Sesudah shalat, diisi dengan dizikir dan membaca al-Qur’an.
Jika
kita mampu mengatur waktu ini dimulai dengan disiplin shalat, maka
lambat laun ibadah-ibadah lainya akan tertunaikan dengan disiplin.
Inilah yang disebut Allah sebagai orang yang tidak merugi.
Allah
Subhanahu Wata’ala menyebutkan sifat-sifat orang yang beruntung, yaitu
mereka yang mampu menjaga waktunya dengan beriman dan beramal sholeh.
وَالْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْ
“Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih serta saling
menasihati supaya mentaati kebenaran dan saling menasihati supaya
menetapi kesabaran.” (QS: Al-‘Ashr: 1-3).
Dalam ayat ini
kita bisa menarik pelajaran penting mengenai waktu. Yaitu isilah waktu
itu dengan empat hal; menjaga iman, mengerjakan amal sholih, menasihati
dalam kebenaran dan menasihati dalam kesabaran.
Tidaklah Iman itu akan bisa menjadi benar kecuali dengan ilmu. Karena
ilmu merupakan cabang dari iman tersebut dan tidak sempurna iman
seseorang kecuali jika dia memiliki ilmu. Oleh karenanya, mengisi waktu
luang dengan menambah ilmu itu sangat mulia.
Amal sholeh yang mencakup semua kebaikan, mulai dari kebaikan yang bersifat dzahir hingga kebaikan yang bersifat bathin,
dimana hal itu berkaitan dengan hak-hak Allah dan hak-hak hambanya baik
hal-hal yang hukumnya bersifat wajib ataupun yang bersifat anjuran.
Aktifitas
lain yang penting adalah saling menasehati dalam hal kebenaran dan
kesabaran. Ketika sedang ngobrol dan duduk-duduk santai, alangkah
baiknya digunakan dengan mengucapkan kalimat-kalimat nasihat, mendorong
saudara dan teman untuk memperbaiki kualitas kehidupan. Menasehati untuk
bersabar dalam menjalankan ibadah. Sabar dalam menuntut ilmu dan
menghadapi tantangan kehidupan.
Dari situ kita bisa menyimpulkan
bahwa waktu itu adalah amanah Allah yang diembankan kepada manusia. Kita
pasti akan pasti akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
Simak sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam ini: “Tidak
akan beranjak kaki seorang hamba di akhirat kecuali setelah ditanya
tentang empat perkara; ditanyakan tentang umurnya lalu bagaimana ia
menggunakannya dan ditanyakan kepadanya tentang ilmu yang didapatkannya
lalu apa yang dilakukannya dengan ilmu tersebut, ditanyakan kepadanya
tentang harta yang ia dapatkan dari mana ia mendapatkannya dan kemana
harta itu dibelanjakan dan ditanyakan kepadanya tentang jasadnya lalu
kemana dipergunakannya.” (HR.Tirmidzi, hadis shohih).
Pantas
saja Imam Fakhruddin al-Razi begitu menghargai waktu
setinggi-tingginya. Tiada celah sedikitpun ia berikan untuk hal-hal yang
tidak berguna. Ia pernah mengatakan: “Demi Allah, sungguh aku sedih
karena kehilangan banyak waktu kesempatan mempelajari ilmu di saat
makan. Sesungguhnya waktu dan zaman itu mulya.”
Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya
http://www.hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar