Oleh: Lalu Heri Afrizal, Lc.
hidayatullah.com- SUATU ketika seorang Syeikh, di salah satu negara
yang pemerintahnya melarang poligami, menikah untuk kedua kalinya. Kabar
pernikahannya pun terendus oleh intelijen negara itu. Di malam hari
ketika Sang Syeikh itu menginap di rumah isteri keduanya, ia digrebek
oleh sekelompok orang anggota intelijen. Ia pun diintrogasi dengan
kasar.
“Mengapa Anda menikah lagi?” Dengan tenang Syeikh itu membela diri.
“Dari mana Anda tahu kalau perempuan ini adalah isteri saya. Perempuan
ini adalah simpanan saya.”
Akhirnya para intel itu mohon maaf atas tindakan lancang mereka.
Dunia seakan terbalik. Orang yang menikah baik-baik hendak ditangkap,
tetapi ketika alasan berduaan dengan pasangan kumpul kebo, justru
dihormati. Dengan kata lain, orang berzina di luar nikah di lindungi dan
dihormati, sementara yang menikah baik-baik dianggap melanggar
Undang-undang.
Di negara kita, pembicaraan tentang poligami selalu hangat di dengar,
terutama setelah dai kondang KH Abdullah Gymnastiar menikah dengan
istri keduanya. Mereka yang menolak hukum poligami pun berusaha mencari
justifikasi dari al-Quran dan Hadits yang mendukung sikap anti mereka.
Biasanya mereka berdalil dengan ayat 3 surat An-Nisa’, bahwa seorang
laki-laki boleh berpoligami jika mampu beruat adil.
وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ
حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا
كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ
غَفُوراً رَّحِيماً
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena
itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Tetapi ayat 129 surat yang sama menjelaskan siapapun tak akan mampu
berlaku adil di antara istri-istrinya. Ini artinya, poligami sebenarnya
tidak dibolehkan, karena kebolehan itu tergantung pada syarat “adil”
yang mustahil direalisasikan.
Jika kita mengkaji penjelasan para ulama seputar kedua ayat di atas,
tidak ada kontradiksi samasekali antara keduanya. Karena adil yang
dimaksudkan pada ayat 3, bukan adil yang dimaksud oleh ayat 129. Memang,
penggalan pertama ayat 129 berbunyi: “Dan sekali-kali kamu tidak akan
bisa berbuat adil di antara para isteri kamu walaupun kamu sangat
menginginkan hal itu...” Tetapi ketika kita lanjut membaca, maka ada
penggalan berikutnya yang berbunyi, ”...Maka janganlah kamu terlalu
condong (terhadap istri yang lebih kamu cintai) sehingga kamu biarkan
yang lain terkatung-katung….”
Jelas bahwa mafhûm mukhâlafah (makna sebaliknya) dari penggalan kedua
di atas ialah: “Berbuat adillah engkau di antara mereka agar mereka
tidak terkatung-katung”, karena lawan dari “Jangan terlalu condong
(jangan berat sebelah)” adalah “Berlaku luruslah (berlaku adillah)”.
Jika demikian, jelas bahwa makna “adil” pada penggalan pertama, bukan
makna “adil” pada penggalan kedua. Sebab jika diartikan sama, tentu
akan menimbulkan makna kontradiktif, karena ayatnya akan berbunyi: “Dan
kamu sekali-kali tidak akan bisa berkalu adil terhadap isteri-isterimu,
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka berlaku adillah…!”
Sudah dijelaskan bahwa tidak ada orang yang bisa berlaku adil, lantas
mengapa diperintah berbuat adil? Itu namanya membebani manusia dengan
sesuatu yang tak mampu ia lakukan, padahal Allah Subhanahu Wata’ala
berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 284; "Allah tidak membebani
seseorang dengan sesuatu yang tidak mampu ia laksanakan".
Jadi adil dalam frase pertama berarti adil dalam urusan hati (seperti
rasa cinta yang lebih kepada isteri yang lain). Adil dalam hal inilah
yang tak mampu dilakukan oleh manusia, sehingga mereka tak diperintahkan
untuk berlaku adil dalam hal ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wassalam sendiri bersabda: “Ya Allah inilah pembagianku dalam apa
yang aku punyai (mampu melakukannya, yaitu urusan nafkah dan menginap)
dan janganlah mencelaku pada apa yang Engkau punya dan tidak aku punya
(urusan hati).” [HR. Abu Dawud]
Jadi arti “Janganlah berlaku condong (berbuat adillah)..” pada
penggalan ayat kedua berarti adil dalam muamalah (seperti pemberian
nafkah, giliran menginap, penyediaan fasilitas, pendidikan anak dsb).
Adil dalam hal inilah yang mampu dilakukan oleh manusia.
Dengan demikian pemahaman ayat tersebut tidak akan kontradiktif.
Karena tafsirannya akan berbunyi: “Engkau sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil dalam hal hati, karena hati adalah urusan Allah. Dia bisa
saja menjadikanmu lebih mencintai salah satu di antara istri-istrimu.
Tetapi janganlah kecendrungan hati ini membuat engkau tidak berlaku adil
dalam bermuamalah kepada mereka. Janganlah kecintaanmu yang lebih
kepada salah satu di antara merkea membuatmu tidak memperhatikan yang
lain sehingga mereka terkatung-katung.” Dengan demikian tidak akan
terjadi makna yang kontradiktif.
Ada juga yang berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Rasulullah bersabda di atas mimbar: “Keluarga
Bani Hasyim bin Mughirah meminta izin untuk menikahkan anak perempuan
mereka dengan Ali bin Abi Thalib, maka aku tidak mengizinkannya, aku
tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali bila Ali
menceraikan putriku dan menikahi anak perempaun mereka. Sungguh Fathimah
adalah bagian dari diriku, meragukanku apa yang meragukannya,
menyakitiku apa yang menyakitinya.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Umumnya, mereka yang menolak poligigami menjadikan dasar hadits ini guna mendukung sikap anti poligami nya.
Namun, ketika dicermati kembali, anggapan tersebut tertolak dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam Surat An Nisa’: 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا
طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ
أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja.” [QS. An-Nisa’: 3].
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Subhanahu Wata’a membolehkan seorang
laki-laki menikahi wanita lebih dari satu, dan juga memerintahkan untuk
menikahi satu isteri saja bila ia khawatir tak mampu berbuat adil. Nabi
sendiri memiliki sembilan isteri. Maka sebagaimana ucapan beliau adalah
dalil, begitu juga dengan perbuatan beliau.
Adapun alasan Nabi melarang Ali ra berpoligami karena perbuatan itu
menyakiti Fathimah dan Nabi Saw, maka hal ini memang benar. Tetapi yang
menjadi pertanyaan adalah, menyakiti yang seperti apa? Kalau “menyakiti”
berupa perasaan Sayyidah Fathimah ra yang tersakiti karena dimadu,
tentu bukan itu yang dimaksud, karena Nabi sendiri berpoligami, dan
perasaan tidak enak serta cemburu itu akan selalu ada di hati para istri
beliau. Istri-istri beliau juga perempuan seperti Fathimah ra. Para
sahabat Nabi yang lain juga banyak berpoligami, apakah mereka dilarang
berpoligami lantaran istri-istri mereka cemburu? Atau istri mereka
memang tidak ada yang memiliki sifat cemburu? Tetapi jika yang
dimaksudkan “menyakiti” itu adalah karena Ali ra ingin menikahi anak
perempuan Abu Jahal, sehingga hal ini akan menyakiti Nabi Subhanahu
Wata’ala.
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam menjelaskan hal ini dengan sabda beliau:
وَإِنِّى لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلاَلاً وَلاَ أُحِلُّ حَرَامًا ، وَلَكِنْ
وَاللَّهِ لاَ تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللَّهِ
أَبَدًا
"Sungguh aku tidak mengharamkan yang halal atau mengharamkan yang
halal, akan tetapi demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasul Allah
dan anak perempuan musuh Allah pada seorang laki-laki selamanya.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Mengomentari hadits di atas Ibnu At-Tîn berkata: "Pendapat paling
tepat dalam menafsirkan kisah ini adalah, bahwasanya Nabi Shallallahu
‘alaihi Wassalam mengharamkan Ali mengumpulkan putri beliau dengan anak
perempuan Abu Jahal karena akan menyakiti beliau, dan menyakiti Nabi
hukumnya haram, berdasarkan ijma’.
Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam: "Aku tidak
mengharamkan perkara yang halal’, maksudnya, dia (anak perempuan Abu
Jahal) itu halal dinikahi oleh Ali jika saja Fatimah bukan istrinya.
Adapun mengumpulkan keduanya akan menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wassalam karena merasa tersakitinya Fathimah, maka hal itu tidak
dibolehkan.
”Pelarangan bukan karena “tersakitinya” Fathimah ra, melainkan
tersakitinya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam lantaran tersakitinya
Fatimah, dan umat sepakat tentang keharaman menyakiti Nabi Shallallahu
‘alaihi Wassalam.
Tentang hal ini Imam Ibnul Qayyim berkata: “Dalam hadits ini terdapat
keterangan tentang keharaman menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wassalam dengan cara apapun, meskipun dengan melakukan perbuatan yang
mubah. Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam merasa tersakiti
dengan hal itu maka tidak boleh dilakukan berdasarkan firman Allah
Subhanahu Wata’ala: “Tidak pantas bagi kalian menyakiti Rasulullah [QS.
Al-Ahzab: 53].”
Mengatur, bukan Melarang
Islam yang merupakan agama fitrah, tentunya datang untuk memenuhi dan
mengatur naluri kemanusiaan. Ia tidak datang untuk mencegah poligami,
tetapi mengatur bagaimana cara berpoligami yang benar. Karena poligami
adalah fenomena yang lumrah dan kodrati sepanjang sejarah manusia.
Poligami adalah pilihan sosial yang mubah, boleh dilakukan dan tidak
berdosa orang yang tidak melakukannya. Tidak wajib dan tidak dibolehkan
bagi laki-laki yang merasa tidak sanggup berbuat adil.
Namun yang terpenting adalah kita tidak boleh membenci hukum
kebolehan ini, apalagi mengatakan bahwa poligami bukan merupakan Syariat
Islam. Ketika ada orang yang melakukannya, tentu tidak boleh dibenci
atau disalahkan, karena ia menjalani sesuatu yang dibolehkan baginya,
bahkan bisa jadi dianjurkan berdasarkan hadits-hadits yang menganjurkan
untuk memperbanyak umat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Ketika ada kasus rumahtangga poligami yang rusak karena berberapa
oknum yang tidak mampu berbuat adil, tidak boleh lantas menyalahkan
poligaminya. Sebab banyak juga rumah tangga monogami yang berantakan.
Dengan demikian, tidak karena rusaknya rumah tangga non poligami kita
menyalahkan monogaminya. Wallahu a’lam.*
Penulis adalah peserta Pendidikan Kader Ulama (PKU) VI ISID, Gontor, Ponorogo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar