Oleh: Alwi Alatas
SAAT melewati jalan Kiai Maja di kawasan Blok M, 
Jakarta, beberapa waktu yang lalu, mata saya tiba-tiba tertuju ke sebuah
 masjid besar di sebuah perempatan jalan itu. Masjid itu terletak di 
kompleks Kejaksaan Agung dan memiliki nama Masjid Baitul Adli. Nama
 yang indah dan sesuai untuk lembaga yang berkaitan erat dengan hukum 
dan tentunya harus selalu menjunjung tinggi keadilan. Saya beberapa kali
 pernah melewati jalan itu, tapi rasanya baru sekarang memperhatikan 
nama masjid Kejaksaan Agung tersebut.
Masjid itu bernama Baitul Adli, yang bermakna rumah 
keadilan, tentu untuk menggambarkan semangat lembaga tersebut dalam 
menegakkan keadilan. Para pejabat dan staf Kejaksaan Agung shalat di 
masjid tersebut dan boleh jadi keluar darinya dengan semangat yang 
tinggi untuk memperjuangkan keadilan. Begitulah idealnya, semestinya. 
Tapi kalau ia hanya sekedar nama, tentu persoalannya menjadi lain lagi.
Kalau para penegak hukum di Indonesia hidup di bawah bawah naungan 
keadilan dan bekerja dengan semangat keadilan tersebut, tentu persoalan 
hukum di negeri ini tidak akan ruwet seperti yang kita lihat hari ini. 
Kalau Rumah Keadilan dijadikan sebagai ruh penegakkan hukum, tentu kita 
tak akan pernah mendengar istilah mafia peradilan dan berbagai stereotip
 negatif lainnya seputar lembaga itu. Kalau keadilan menjadi semangat 
utama para penegak hukum di negeri ini, tentu kasus korupsi tak akan 
merebak luas, tak akan ada kasus suap menyuap, tak ada yang perlu 
dihukum berat  hanya karena mencuri sandal, dan berbagai kasus lainnya 
yang menganggu syaraf keadilan masyarakat. Kalau saja ….
Bagaimanapun, itu adalah sebuah masjid dan Baitul Adli hanyalah
 sebuah nama. Mungkin bangunan itu hanya dianggap sebagai tempat shalat,
 tidak lebih. Kadang sebuah kasus atau perkembangan hukum tertentu 
disampaikan oleh seorang pejabat kepada para wartawan selepas melakukan 
shalat Jum’at di masjid itu. Nama masjid itu disebutkan karena wawancara
 berlangsung di tempat itu. Pada waktu yang lain, ketika ada tokoh hukum
 yang dihormati meninggal dunia, jenazah dibawah ke ruang Sasana 
Pradhana di Gedung Utama Kejaksaan Agung untuk mendapatkan penghormatan 
kenegaraan, kemudian dishalatkan di Masjid Baitul Adli, sebelum
 dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ini yang berlaku pada 
Baharuddin Lopa pada tahun 2001 dan Singgih pada tahun 2005.
Terlepas dari itu semua, nama masjid ini mengingatkan kita pada nama 
sebuah lembaga lainnya yang namanya hampir sama, hampir satu milienium 
yang lalu. Lembaga itu bernama Darul Adl, secara bahasa juga 
bisa diterjemahkan sebagai ‘rumah keadilan’. Tapi ini bukan masjid. Ini 
adalah nama sebuah lembaga kehakiman, semacam mahkamah khusus. Lembaga 
ini didirikan oleh seorang sultan di Suriah yang terkenal dengan 
keadilannya, al-Malik al-Adil Nuruddin Mahmud bin Zanki. Ia mendirikan 
lembaga ini tak lama setelah berhasil menguasai kota Damaskus dan 
menjadikannya sebagai ibu kota pemerintahannya pada tahun 1154.
Nuruddin Zanki merupakan seorang pemimpin yang terkenal keshalehan dan keadilannya.
 Begitu menonjol kepribadiannya yang baik sampai-sampai Ibn al-Athir, 
seorang sejarawan, mengatakan bahwa sejak Khulafa’ al-Rashidin dan Umar 
bin Abdul Aziz ia tidak menemukan seorang yang lebih lurus dan 
bersungguh-sungguh dalam menegakkan keadilan selain Nuruddin Zanki. 
Sepanjang pemerintahannya, selain melakukan jihad dalam menghadapi 
pasukan salib ia memperjuangkan sesuatu yang sangat mendasar, yaitu 
menegakkan nilai-nilai agama dan keshalehan di tengah-tengah 
masyarakatnya. Karena dengan nilai-nilai inilah masyarakat kembali 
kepada kekuatannya yang murni serta mampu secara efektif menghadapi 
lawan dan keluar dari ancaman penjajahan. Sebagaimana telah dijelaskan 
dalam buku saya, “Nuruddin Zanki dan Perang Salib”, tokoh ini juga 
berusaha menegakkan keadilan dan syariah di seluruh wilayah 
kekuasaannya. Ia meyakini bahwa syariah, dan pemahaman yang mendalam 
atasnya tentu saja, merupakan sumber utama keadilan. Dan tegaknya 
keadilan akan menjamin kepastian hukum, tumbuhnya kepercayaan di tengah 
masyarakat, terhapusnya berbagai masalah sosial, serta sehatnya 
pertumbuhan ekonomi dan dinamika politik.
Penegakkan hukum dan keadilan berdasarkan syariah merupakan salah 
satu ciri-ciri yang menonjol dari pemerintahan Nuruddin Zanki. Setiap 
kasus hukum diputuskan berdasarkan bukti dan adanya saksi, dan jika 
sebuah tuduhan terbukti kebenarannya maka hukuman ditegakkan sesuai 
dengan kadar kesalahannya.
“Dengan keadilan ini,” kata Ibn al-Athir,
 “Allah menghilangkan sekian banyak kejahatan di negerinya. Sedangkan di
 negeri lain kejahatan begitu merajalela karena para penguasanya 
menerapkan kebijakan represif, hukuman yang berlebihan, dan memutuskan 
suatu hukuman berdasarkan dugaan. Wilayah kesultanan Nur al-Din yang 
begitu luas terasa aman dan tidak banyak orang yang jahat  disebabkan 
oleh keadilan dan komitmen dalam menjalankan tuntunan syariah yang 
suci.”
Ia bahkan tidak menghindar ketika ada orang yang menuntutnya secara 
hukum. Kasus itu akan dibawa ke pengadilan dan ia duduk bersama 
penuntutnya di hadapan hakim dengan kedudukan yang sama. Syeikh Daud 
al-Maqdisi mengatakan bahwa beliau pernah hadir di pengadilan semacam 
ini pada tahun 1163. Ketika itu ada orang yang menuntut Nuruddin Zanki 
atas haknya yang telah diambil oleh ayah Nuruddin. Nuruddin yang tidak 
mengetahui tentang apa yang dilakukan oleh ayahnya itu mempersilahkan 
agar si penuntut menghadirkan bukti-buktinya kepada hakim. Dan ketika 
bukti-bukti itu memenuhi syarat pengadilan dan harta itu ditetapkan 
sebagai milik si penuntut, maka Nuruddin pun mengembalikan hak orang itu
 dengan segera. Beliau memberikan contoh kepada rakyatnya dan tidak 
merasa malu untuk hadir di pengadilan sebagai orang biasa untuk 
mengungkapkan sebuah kasus hukum dan menerima keputusan pengadilan yang 
memang terbukti kebenarannya.
Pernah ada pimpinan sebuah wilayah meminta agar diijinkan melakukan 
tindakan lebih keras terhadap para pelaku kejahatan karena merebaknya 
kriminalitas di wilayah itu. Bersama-sama dengan para tokoh di wilayah 
itu ia memohon kepada Nuruddin agar diperbolehkan melakukan 
tindakan-tindakan “ekstra-syariah” untuk mengatasi keadaan. 
“Sesungguhnya para pelacur, penjahat, dan penyamun menyebar di 
mana-mana,” jelas mereka pada Nuruddin. “Mereka harus ditindak dengan 
cara yang lebih keras. Permasalahan mereka tidak mungkin diatasi kecuali
 dengan hukuman pancung, disalib, atau dipukul. Kemudian jika ada orang 
yang dirampas hartanya di tempat yang sepi, siapa yang dapat menjadi 
saksi baginya?”
Tetapi Nuruddin Zanki menolak hal ini. Ia memberikan keputusan yang tegas dan bijaksana,
“Sesungguhnya Allah yang telah 
menciptakan manusia dan Dia yang paling mengetahui kemaslahatan mereka. 
Sesungguhnya kemaslahatan manusia akan tercapai bila mereka menjalankan 
syariatnya secara sempurna. Sekiranya Allah tahu bahwa syariah harus 
ditambah maka niscaya Dia akan menambahnya. Untuk itu, kita tidak perlu 
menambahkan sesuatu kepada syariah yang telah ditetapkan oleh Allah swt.
 Jika ada orang yang menambahnya, maka sebenarnya ia mengira bahwa 
syariah itu tidak lengkap sehingga ia menyempurnakannya dengan tambahan 
tersebut. Ini merupakan tindakan yang lancang terhadap Allah dan 
syariat-Nya.”
Mereka pun menerima keputusan sang Sultan. Dan sejalan dengan 
perjalanan waktu dan konsistensi dalam penegakkan hukum, lambat laun 
keadaan di wilayah itu mengalami perubahan. Angka kriminalitas menurun 
dan keamanan tersebar luas. Ketika hukum ditegakkan dengan adil, 
konsisten, dan tidak berlebih-lebihan, maka lama kelamaan akan tumbuh 
kepercayaan terhadap hukum di tengah masyarakat dan pelanggaran serta 
kejahatan yang ada pun akan semakin berkurang secara signifikan.
Di samping memastikan berfungsi dengan baiknya lembaga-lembaga 
peradilan di seluruh wilayah pemerintahannya, Nuruddin Zanki juga 
membuat sebuah mahkamah khusus bernama Darul Adl di kota 
Damaskus, tidak lama setelah ia berhasil menguasai kota itu. Lembaga ini
 didirikan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang tidak dapat diselesaikan
 oleh hakim-hakim biasa dan juga menerima laporan masyarakat jika ada 
pejabat pemerintahan yang melakukan penyimpangan. Nuruddin Zanki 
memimpin dan mengawasi secara langsung ‘rumah keadilan’ ini bersama para
 ahli hukum dari semua madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali). 
Beliau hadir di persidangan sebanyak empat kali seminggu untuk membahas 
kasus-kasus hukum yang masuk dan memutuskannya dengan sebaik-baiknya.
Adanya lembaga ini membuat para pejabat di pemerintahan Nuruddin 
Zanki semakin berhati-hati dalam bertindak. Mereka menjadi semakin 
menjaga diri dari penyimpangan-penyimpangan yang disengaja ataupun tidak
 disengaja, yang kecil apalagi yang besar. Mereka memandang lembaga ini 
dengan sikap takzim dan serius, karena mereka tahu bahwa pemimpinnya itu
 tidak pernah main-main dengan masalah hukum dan amanah pemerintahan. 
Mereka bukan hanya menjaga sikap pribadi di pemerintahan tetapi juga 
memberi peringatan keras kepada setiap aparat di bawahnya agar 
benar-benar absen dari perilaku menyimpang. Begitu seriusnya mereka 
dalam meluruskan jalannya birokrasi pemerintahan sampai-sampai ada 
seorang pejabat yang berkata kepada seluruh anak buahnya;
“Demi Allah, jika nanti aku dipanggil ke 
lembaga keadilan karena kesalahan salah seorang di antara kalian maka 
aku akan menyalibnya! Pergilah ke setiap daerah yang masyarakatnya 
berselisih dengan kalian dalam hal kepemilikan harta. Selesaikanlah dan 
buatlah mereka senang dengan cara apa pun, sekalipun harus menghabiskan 
seluruh harta yang ada di tanganku!” Ketika anak buahnya mengeluhkan hal
 ini dan berkata, “Sesungguhnya kalau masyarakat tahu akan hal ini, 
mereka akan menuntut secara berlebihan.” Maka atasannya itu menjawab, 
“Habisnya seluruh hartaku adalah lebih ringan daripada aku dilihat oleh 
Nur al-Din sebagai orang yang dzalim.”
Upaya Nuruddin Zanki yang sungguh-sungguh tidak sia-sia. Kehidupan 
masyarakat di bawah pemerintahannya menjadi stabil dan minim dari 
perilaku kejahatan dan kekerasan.
Rumah Keadilan (Darul Adl), itulah nama lembaga kehakiman di Damaskus pada masa pemerintahan Nuruddin Zanki. Rumah Keadilan (Baitul Adli),
 itulah nama masjid di salah satu lembaga hukum yang penting di Jakarta 
pada masa sekarang ini. Kita memiliki lembaga dengan nama yang serupa. 
Namun rupanya semangat dan perilaku dalam menegakkan keadilan di antara 
kedua entitas ini masih sangat jauh perbedaannya.
Di Indonesia, kita masih mendengar kasus penangkapan orang-orang tak 
bersalah atas nama terorisme. Mereka ditangkap selama beberapa hari, 
diperiksa dan dipukuli, kemudian dikembalikan ke rumahnya karena tak 
terbukti bersalah. Ada juga yang sampai mati terbunuh tanpa pernah 
dibuktikan kasusnya secara jelas di pengadilan. Kita masih mendengar 
kasus tebang pilih, yang miskin dihukum berat dengan proses yang cepat, 
sementara yang kaya sering lolos dari hukuman. Ketika yang kaya 
tertangkap dan divonis penjara, kamar penjaranya pun biasanya kelas VIP 
dan mereka cepat mendapatkan grasi. Kita masih mendengar berbagai 
kasus-kasus hukum yang aneh bin ajaib dan membuat kepala pening saat 
membacanya. Padahal kita mengklaim Indonesia adalah negara hukum.
Karena tidak berjalan dengan baiknya hukum dan keadilan, akibatnya 
muncul ketidakpercayaan terhadap hukum. Orang-orang mencari jalan untuk 
menyeleweng dan masyarakat cenderung ‘menyelesaikan’ sendiri masalahnya.
 Mereka tidak percaya pada lembaga dan aparat hukum, mereka bertindak 
sendiri, maka muncullah banyak konflik sosial di masyarakat serta 
berbagai aksi kekerasan, sementara lembaga dan aparat hukum semakin 
mandul dalam menyelesaikan berbagai masalah yang ada. Bahkan lembaga 
pemerintahan dan keamanan di beberapa tempat ikut menjadi sasaran amuk 
warga karena dianggap sebagai sumber berbagai masalah dan kecurangan.
Semua bermula dari tidak berjalannya hukum dan tidak tertegaknya keadilan.
Mudah-mudahan tahun baru ini bisa dijadikan sebagai titik tolak dan 
kebangkitan kembali semangat penegakkan keadilan di tanah air. Terlebih 
saat ini Indonesia sedang aktif memerangi korupsi dan berbagai 
penyimpangan di pemerintahan. Ini merupakan sebuah resolusi dan komitmen
 yang sangat penting. Agar Rumah Keadilan bukan tinggal nama saja. Agar 
di waktu mendatang negeri ini benar-benar menjadi Rumah Keadilan bagi 
seluruh warganya.
*/Kuala Lumpur, Selasa, 1 Januari 2013 
Penulis adalah kandidat doktor bidang Sejarah di IIUM yang juga penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar